Jumat, 25 Maret 2011

Putusan MK dan Keppres Pemberhentian Jaksa Agung

Rabu, 29/09/2010 11:06 WIB
Memaknai Putusan MK dan Keppres Pemberhentian Jaksa Agung
Chandra Kurniawan SH - suaraPembaca


Jakarta - Rabu, 22 September 2010 pukul 14.35 Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusannya menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai "masa jabatan jaksa agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan".

Perdebatan terhadap putusan MK tersebut terus menuai kontroversi. Mensesneg (Sudi Silalahi) dan Staf Khusus Presiden (Denny Indrayana) dalam berbagai kesempatan wawancara dengan media memaknai bahwa jabatan Jaksa Agung Hendarman Supanji tetap sah setelah putusan MK tersebut.

Banyak kecaman terhadap Ketua MK (Mahfud MD) yang menafsirkan bahwa jabatan Jaksa Agung Hendarman Supanji turut berakhir sejak putusan MK dibacakan. Bahkan, dosen Fakultas Hukum salah satu universitas terkemuka di Indonesia (Mohammad Fajrul Falaakh) langsung bereaksi dengan menuliskan opininya dalam salah satu media cetak Ibukota berjudul "Memaknai Putusan MK". Inti tulisan beliau saya tangkap sebagai ketidaksetujuan terhadap putusan MK dan pemahaman beliau mengenai Jaksa Agung dipecat oleh Ketua MK (Mahfud MD).

Pemahaman Terhadap Putusan MK
Terlepas dari kontroversi terhadap putusan MK tersebut putusan MK tersebut harus dimaknai sebagai penciptaan ketentuan hukum baru di mana sejak putusan MK dibacakan maka penafsiran terhadap periode jabatan Jaksa Agung wajib dimaknai berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan.

Lebih lanjut, jika membaca pertimbangan putusan MK tersebut, sepakat bahwa demi mencegah keadaan inkonstitusionil terhadap ketidakjelasan jabatan Jaksa Agung maka sejak Putusan MK tersebut dibacakan Jabatan Jaksa Agung Hendarman Supanji juga turut berakhir demi hukum. Ketentuan ini seharusnya disambut dengan baik oleh semua pihak karena hal ini menyudahi tafsir yang berbeda terhadap masa jabatan jaksa agung dan memberikan ketegasan terhadap periode jabatan Jaksa Agung untuk ke depannya.

Amar Putusan MK memang tidak menyebut secara tegas terhadap keabsahan Jaksa Agung Hendarman Supanji. Akan tetapi secara tidak langsung tentunya putusan MK ini memberikan dampak kepada masa jabatan Jaksa Agung yang sedang dijabat oleh Hendarman Supanji.

Sesuai dengan bunyi Pasal 58 Undang-Undang No 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Putusan MK tidak dapat berlaku surut, artinya putusan MK ini tidak dapat diberlakukan secara mundur. Putusan MK baru memiliki kekuatan mengikat sejak putusan MK tersebut dibacakan. Hal yang lazim dianut oleh beberapa negara lain dalam ketentuan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi.

Penting untuk dicatat bahwa MK memang tidak memiliki kewenangan untuk menentukan penghentian jabatan Jaksa Agung Hendarman Supanji. Akan tetapi putusan MK tersebut harus dimaknai sebagai terciptanya ketentuan hukum baru di mana sejak putusan MK dibacakan (tanggal 22 September 2010), dan untuk menghindari keadaan inkonstitusional, maka jabatan Jaksa Agung Hendarman Supanji juga harus berhenti berdasarkan hukum sejak saat putusan MK dibacakan. Mungkin jika tidak ada asas putusan MK tidak berlaku surut, Jabatan Jaksa Agung Hendarman Supanji sudah harus berakhir sejak berakhirnya jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 20 Oktober 2009 (periode pertama).

Keppres tentang Penghentian Hendarman Supanji sebagai Jaksa Agung Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang No 16 tahun 2004 mengenai Kejaksaan Republik Indonesia menyebutkan bahwa pemberhentian dengan hormat Jaksa Agung ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Berangkat dari hal tersebut maka jika presiden sungguh-sungguh menghormati Putusan MK dan demi menjalankan ketentuan UU Kejaksaan pasca putusan MK seharusnya presiden segera mengeluarkan Keppres mengenai Pemberhentian Jaksa Agung Hendarman Supanji yang dibuat efektif berlaku sejak putusan MK tersebut dibacakan. Bukan sejak tanggal ditetapkannya keppres tersebut.

Hal ini penting supaya tidak ada lagi perbedaan penafsiran mengenai kapan efektifnya Jaksa Agung Hendarman Supanji berhenti dari jabatannya dan berlarut-larutnya masalah ketidakabsahan dan "pembiaran" ketidakabsahan Hendarman Supandi sebagai Jaksa Agung oleh Presiden yang dapat menimbulkan wacana impeachment.

Argumen mengenai jabatan Jaksa Agung Hendarman Supanji sebelum keputusan MK tersebut mungkin masih bisa diterima akal. Akan tetapi pasca putusan MK maka seharusnya presiden dapat memberi contoh yang baik untuk patuh terhadap undang-undang dan tidak membiarkan keadaan inkonstitusionil ini terus terjadi.

Chandra Kurniawan SH

Penulis adalah Alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (tulisan merupakan pendapat pribadi penulis).

Tidak ada komentar: