Kamis, 26 Mei 2011

Force Majeure

Antara Syahrini, Karaha Bodas dan Kemacetan Merak
Oleh: Chandra Kurniawan *)

Kamis, 26 May 2011
Tidak dimasukkannya klausul force majeure atau keadaan memaksa dalam kontrak tidak berarti otomatis perlindungan yang diberikan oleh perundang-undangan menjadi terbatasi, hilang atau dapat dikesampingkan.

Telinga kita tentunya tidak asing dengan istilah force majeure. Istilah ini cukup sering diucapkan dalam peristiwa sehari-hari terutama terkait dengan peristiwa hukum. Meski begitu, belum tentu pemahaman kita tepat mengenai force majeure. Berangkat dari hal tersebut, Penulis mengangkat topik ini sebagai bahasan.

Secara general, peristiwa force majeure sering dikaitkan dengan suatu kejadian yang disebabkan oleh kekuatan yang lebih besar biasanya berupa gempa bumi, banjir, gunung meletus (acts of god), perang, kerusuhan, tindakan pemerintah, tindakan teroris, dan lain-lain yang menghalangi pihak untuk berprestasi terkait suatu perjanjian. Atas dasar adanya force majeure ini, pihak yang tidak berprestasi tersebut dibebaskan dari ganti rugi karena perbuatannya dianggap bukan sebagai tindakan wanprestasi.

Akibat tidak adanya suatu definisi yang tegas terhadap force majeure, beragam interpretasi muncul termasuk dari para ahli hukum sehingga tidak jarang perbedaan interpretasi itu berujung masalah di kemudian hari. Biasanya, salah satu upaya para pihak untuk mencegah perbedaan interpretasi mengenai force majeure adalah dengan memasukkan secara terperinci mengenai keadaan-keadaan yang dianggap sebagai force majeure. Hal tersebut ternyata tidak cukup malah cenderung semakin mengaburkan gambaran mengenai force majeure. Ditambah lagi perkembangan teori force majeure relatif dan absolut. Hal ini menyebabkan force majeure memiliki dimensi yang luas dan harus dilihat secara kasus per kasus untuk penetapannya.

Contoh klausa standar force majeure dalam perjanjian:
“Tidak ada satu pihakpun akan bertanggungjawab atas kegagalan pelaksanaan sesuatu kewajiban yang disebabkan oleh Peristiwa Force Majeure. Peristiwa Force Majeure berarti peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan dan kehendak para pihak tanpa ada unsur kesalahan atau kelalaian para pihak yang disebabkan oleh sesuatu kejadian atau keadaan memaksa dan istilah ini mencakup kejadian di luar kekuasaan manusia (Acts of God), kebakaran, ledakan atau bencana lain, angin ribut, blockade, perang, pemogokan atau gangguan perburuhan lain, kerusuhan, huru-hara masyarakat, tindakan dari penguasa sipil atau militer.

Force majeure dalam peraturan perundang-undangan Indonesia:
1.    Kitab Undang-undang Hukum Perdata ( “KUH Perdata”)

KUH Perdata tidak mengenal istilah force majeure tetapi Pasal 1244 KUH Perdata mengatur bahwa debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tak terduga, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya.

Lebih lanjut, Pasal 1245 KUH Perdata mengatur bahwa para pihak tidak harus membayar biaya kerugian dan bunga apabila salah satu pihak berhalangan berprestasi akibat dari kejadian memaksa atau kejadian yang tidak terduga atau akibat hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. KUH Perdata tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang disebut sebagai keadaan memaksa, hal tidak terduga dan perbuatan yang terlarang tersebut.

2.    UU No 18/1999 tentang Jasa Konstruksi

Mengartikan keadaan memaksa (force majeure) sebagai kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Penjelasan UU No 18/1999 mengklasifikasikan keadaan memaksa menjadi dua bagian yaitu keadaan memaksa absolut dimana para pihak sudah tidak mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya dan keadaan memaksa relatif dimana para pihak masih dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Lebih lanjut, UU No 8/1999 menegaskan bahwa resiko atas keadaan memaksa tersebut dapat diperjanjikan oleh para pihak antara lain melalui asuransi.

Dari dua ketentuan di atas, Penulis berpendapat bahwa KUH Perdata lebih tegas mengatur mengenai akibat keadaan memaksa dimana KUH Perdata memberikan perlindungan kepada para pihak dengan membebaskan pihak dari pembayaran kompensasi ganti rugi bila halangan berprestasi tersebut diakibatkan oleh keadaan memaksa atau keadaan yang tidak terduga. Sayangnya, KUH Perdata tidak mengatur mengenai kapan suatu keadaan dikatakan sebagai keadaan memaksa ataupun keadaan tidak terduga.

Force Majeure atau Keadaan Memaksa dalam Jurisprudensi

Sedikit putusan pengadilan Indonesia yang memutus suatu keadaan dianggap sebagai keadaan memaksa. Mengutip dari buku yang diterbitkan oleh National Legal Reform Program, tercatat putusan Mahkamah Agung No 409K/Sip/1983 tertanggal 25 Oktober 1984 dimana Penggugat Rudy Suardana menuntut ganti rugi kepada Tergugat Perusahaan Pelayaran Lokal PT Gloria Kaltim akibat tindakan Tergugat yang dianggap telah lalai menyerahkan barang kiriman Penggugat. Tergugat mendalilkan bahwa hal tersebut disebabkan oleh keadaan memaksa karena kapal yang mengangkut barang tersebut tenggelam. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi memutus Tergugat melakukan wanprestasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada Penggugat akan tetapi Mahkamah Agung berpendapat lain bahwa tenggelamnya kapal tersebut merupakan akibat dari ombak besar dan tidak ditemukan unsur kelalaian. Kapal tersebut juga telah memperoleh izin laik laut dan  tidak terbukti ada kelebihan muatan sehingga Mahkamah Agung berpandangan bahwa hal tersebut merupakan keadaan yang tidak dapat dicegah oleh siapapun dan memutus tidak mengabulkan permintaan ganti rugi Penggugat.

Beberapa contoh kasus terkait dengan force majeure yang menarik

a.    Kasus antara Syahrini (Penyanyi) dengan promotor acara di Bali.

Dalam kasus ini, Syahrini dituntut ganti rugi akibat dianggap telah melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan prestasinya untuk menyanyi. Syahrini mendalilkan hal itu sebagai force majeure dengan alasan ia harus menemani Ayahnya yang sedang sakit berjuang melawan maut di Rumah Sakit. Menurut pemberitaan beberapa media, pihak promotor tidak setuju terhadap dalil tersebut karena menurut kuasa hukumnya hal tersebut tidak tercantum dalam klausul force majeure kontrak yang telah mereka sepakati. Kedua belah pihak melalui kuasa hukumnya masing-masing saling beradu argumen mengenai apakah alasan sakitnya Ayah Syahrini dapat dikategorikan sebagai suatu keadaan memaksa atau force majeure. Kasus ini terus bergulir dan akhirnya berujung di Pengadilan.

Kasus ini terlihat sederhana akan tetapi ternyata efek dari kasus ini jauh dari kata sederhana. Penulis berasumsi bahwa kemungkinan besar tidak pernah terlintas dalam pikiran Syahrini maupun promotornya untuk memasukkan alasan sakit atau meninggalnya Ayah Syahrini sebagai suatu keadaan memaksa atau force majeure dalam kontrak mereka. Batal menyanyinya Syahrini pada acara tersebut tentunya mengakibatkan promotor mengalami kerugian nyata dan kehilangan keuntungan yang diharapkan bila Syahrini melaksanakan prestasinya. Promotor mungkin telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit baik untuk promosi, reservasi tempat, waktu, tenaga dan lain-lain. Belum lagi ditambah dengan kontrak-kontrak terkait lain yang telah dibuat oleh promotor acara tersebut dan reputasi promotor yang tentunya sulit dinilai dengan uang.

Terlepas dari pro dan kontra terhadap kasus tersebut, Penulis mencatat beberapa hal: Pertama, Penulis berpendapat bahwa tidak dimasukannya kejadian tersebut (alasan sakit atau meninggalnya Ayah Syahrini) dalam klausul force majeure kontrak dengan promotor tidak mengakibatkan hal tersebut otomatis sebagai bukan peristiwa force majeure atau keadaan memaksa karena pada prinsipnya hukum memberikan perlindungan standar terhadap para pihak yang tidak dapat berprestasi karena suatu keadaan memaksa. Ditambah dengan asas umum dalam hukum bahwa perjanjian tidak hanya mengikat hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

Kedua, dalam menentukan apakah tindakan Syahrini yang batal menyanyi akibat sakit atau meninggalnya Ayah Syahrini tersebut merupakan suatu force majeure atau keadaan memaksa atau bukan, hakim harus mempertimbangkan unsur keadilan kepada kedua belah pihak dan juga unsur rasa kemanusiaan. Jika dilihat dari sudut pandang meta yuridis atau kemanusiaan tentu kita dengan mudah mengatakan bahwa alasan Syahrini batal bernyanyi karena menemani Ayahnya yang sakit menghadapi maut tersebut adalah mutlak merupakan force majeure atau keadaan memaksa meskipun hal tersebut tidak di atur dalam kontrak. Akan tetapi dalam kacamata hukum, hal tersebut tentunya masih menjadi perdebatan. Hal ini bukan berarti secara hukum tindakan Syahrini mangkir dari kewajibannya menyanyi akibat Ayahnya yang kritis tidak dapat dikategorikan sebagai force majeure atau keadaan memaksa sebab Syahrini pasti tidak pernah berharap dan menduga Ayahnya akan kritis dan berujung kepada kematian pada awal penandatanganan kontrak tersebut. Sangat ironis jika Syahrini tetap dituntut melaksanakan kewajibannya untuk bernyanyi dengan melihat kondisi Ayahnya yang kritis berjuang melawan maut. Perlu diingat bahwa hukum itu bukan hanya sesuatu yang tertulis saja. Tentunya, semua ini masih butuh pengujian lebih lanjut dalam persidangan dan akan pada akhirnya akan berujung kepada subjektifitas penilaian hakim.

Jika tindakan Syahrini dianggap sebagai force majeure atau keadaan memaksa oleh hakim maka Syahrini dianggap tidak melakukan wanprestasi dan oleh karenanya tidak ada ganti rugi yang harus dibayarkan oleh Syahrini. Dalam hal ini, Syahrini hanya berkewajiban mengembalikan honor yang telah dia terima tanpa berkewajiban mengganti semua kerugian yang diderita pihak promotor. Di sisi lain, Penulis juga memahami bahwa sangat beralasan bagi pihak promotor menganggap tindakan Syahrini tersebut sebagai perbuatan wanprestasi karena efek kerugian yang timbul akibat tindakan Syahrini tersebut dan potensi gugatan terhadap kontrak-kontrak terkait yang telah dibuat pihak promotor sehubungan dengan acara tersebut.

Penting untuk dicatat bahwa dalam hukum Indonesia, ganti rugi itu bukan hanya merupakan ganti rugi terhadap kerugian nyata yang benar-benar timbul akibat wanprestasi tersebut saja (reliance loss) akan tetapi dapat juga berupa ganti rugi terhadap keuntungan yang diharapkan (expectation loss). Inilah konsekuensi yang timbul jika perbuatan Syahrini dianggap sebagai perbuatan wanprestasi. Catatan Penulis tidak berhenti sampai disitu, seandainya batal menyanyinya Syahrini akibat alasan harus menemani Ayahnya yang sedang sakit melawan maut dianggap sebagai force majeure atau keadaan memaksa oleh hakim maka akan timbul pertanyaan juga apakah promotor tersebut dapat menggunakan dalil yang sama (force majeure) untuk menghindar dari ganti rugi terhadap kontrak-kontrak lain yang telah dibuatnya sehubungan dengan acara tersebut. Hal ini sangat berhubungan erat karena promotor tersebut juga kemungkinan besar mendapat potensi gugatan dari kontrak-kontrak lain yang terkait.

Wajib dipahami bahwa hal tersebut merupakan satu kesatuan mata rantai akan tetapi secara hukum, jika tindakan Syahrini dianggap sebagai sebuah force majeure atau keadaan memaksa maka tidak mudah bagi promotor untuk dapat secara merta menggunakan dalil tersebut sebagai alasan menghindar dari ganti rugi atas kontrak-kontrak terkait promotor dengan pihak lain walaupun hal tersebut muncul bukan akibat kesalahan promotor karena pihak ketiga tidak memiliki hubungan hukum dengan Syahrini dan mungkin tidak mau tahu dengan alasan tersebut.

Mencermati hal-hal tersebut diatas, mungkin terlintas dalam benak anda pertanyaan apakah merupakan suatu keadilan membebankan semua resiko kerugian kepada pihak promotor? Memang sulit berbicara mengenai keadilan dalam kasus ini tetapi Penulis berpendapat bahwa akan lebih tidak adil bila resiko tersebut dibebankan kepada pihak yang lemah dengan catatan bahwa memang kelalaian tersebut bukan merupakan itikad buruk. Hakim dituntut  melihat secara luas interpretasi mengenai force majeure atau keadaan memaksa saja dan menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.

b.    Kasus Karaha Bodas vs Pertamina (Geothermal).

Dalam kasus ini Pertamina dianggap telah melakukan wanprestasi dan dihukum membayar ganti rugi. Argumen Pertamina bahwa Pertamina bukan tidak ingin melaksanakan kewajiban atau     prestasinya dalam Proyek tersebut melainkan diakibatkan oleh Keputusan Presiden yang menangguhkan Proyek tersebut akibat krisis ekonomi (Keppres No. 39/1997 dan Keppres No. 5/1998) tidak diterima oleh Majelis Arbiter Arbitrase Jeneva, Swiss karena hal tersebut dianggap bukan sebagai force majeure.

Hal ini patut menjadi pelajaran bagi kita semua. Terlepas dari segala argumen dalam kasus tersebut, pendapat pribadi Penulis jelas mengganggap hal tersebut merupakan suatu keadaan memaksa menurut hukum Indonesia karena Pertamina tidak dapat melaksanakan kewajibannya akibat peraturan yang dikeluarkan Pemerintah saat itu dan tidak mungkin bagi Pertamina untuk melanggar Keppres tersebut.

c.    Kejadian Macet Total yang terjadi di Pelabuhan Merak Februari 2011.

Seperti kita ketahui bahwa kemacetan itu berlangsung sampai tiga hari. Apakah hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai force majeure atau keadaan memaksa dengan logika tidak dimasukkan dalam klausul kontrak? Mungkinkah terlintas oleh para pihak yang berkontrak untuk memasukkan klausa kemacetan dalam kontrak mereka dimana pada kejadian normal kemacetan tersebut tidak pernah diperkirakan akan separah itu? Haruskah pengangkut menanggung semua resiko ganti rugi padahal mereka juga telah merugi akibat kemacetan tersebut. Apakah hakim atau kita akan menutup mata terhadap ketidakadilan dan memegang teguh prinsip kepastian hukum. Disinilah kunci pentingnya hukum melindungi para pihak terhadap hal-hal yang tidak dicakup oleh perjanjian.

Terlepas dari tujuan kepastian hukum, Penulis berpendapat bahwa hukum juga harus memperhatikan nilai-nilai dan rasa keadilan dan kepatutan yang tumbuh dalam masyarakat. Asas kebebasan berkontrak memang diakui oleh hukum akan tetapi tidak berarti dapat mengesampingkan perlindungan standar yang telah ditetapkan oleh perundang-undangan. Begitu pula dengan tidak dimasukannya klausul force majeure atau keadaan memaksa dalam kontrak. Hal tersebut tidak berarti otomatis perlindungan yang diberikan oleh perundang-undangan menjadi terbatasi, hilang atau dapat dikesampingkan. Penetapan force majeure atau keadaan memaksa harus dilihat secara kasus per kasus sehingga tidak dapat dibatasi oleh apa yang tertera dalam klausul perjanjian saja. Ditambah dengan asas umum dalam hukum bahwa perjanjian tidak hanya mengikat hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya tetapi juga untuk segala sesuatu yang diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu hal yang tidak terduga merupakan salah satu unsur keadaan memaksa maka seharusnya secara logika argumen yang menyatakan bahwa force majeure atau keadaan memaksa hanyalah terbatas dari apa yang telah ditentukan dalam perjanjian menjadi gugur.

Berbicara keadilan memang sulit tetapi akan lebih tidak adil menimpakan beban resiko kepada pihak yang lemah. Putusan hakim dalam kasus Syahrini mungkin dapat menjadi preseden berikutnya untuk kasus-kasus lain terkait dengan force majeure atau keadaan memaksa.

*Alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung

6 komentar:

Anonim mengatakan...

cakur, kl kebijakan pemerintah apakah bisa dikategorikan sebagai force majeure?dan apakah kebijakan pemerintah itu harus dituangkan dalam bentuk keputusan presiden?

Irma...FH Unpad 02

Chandra Kurniawan mengatakan...

menurut gw itu bisa dianggap sebagai force majeure dan alasan pembenar untuk tidak berprestasi karena pada dasarnya kan bukan itikad buruk pihak tersebut tetapi tidak bisa berprestasi karena terhalang kebijakan pemerintah. Ga harus dalam kepres doang sih..coba deh baca UU ttg pembentukan perundang-undangan (12/2011)

Ibnu Taimiyah mengatakan...

bang, bisa posting juga ngga 10 definisi menurut ahli tentang force majeure beserta bukunya (daftar pustaka)??

Anonim mengatakan...

Chan, titip salam buat anak2 IABF,

Unknown mengatakan...

ada gak sih pengertian force majeur menurut para ahli ??

Toyib mengatakan...

terima kasih sangat membantu

pokerpelangi
itudomino
pokerkiu
asikqq