Rabu, 14 November 2012

Menyoal Kebijakan BI tentang Kepemilikan Tunggal Perbankan (Single Presence Policy)


MENYOAL KEBIJAKAN BANK INDONESIA (“BI”) TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PERBANKAN (SINGLE PRESENCE POLICY)

Oleh: Chandra Kurniawan

*Penulis adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Tulisan merupakan pendapat pribadi Penulis dan tidak mewakili institusi manapun).



5 Oktober 2006, Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia No. 8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan di Indonesia diikuti dengan ketentuan pelaksanannya melalui Surat Edaran Bank Indonesia No. 9/32/DPNP tertanggal 12 Desember 2007 (“PBI”).

Enam tahun sudah berlalu tetapi proses pelaksanaan Single Presence Policy tersebut masih belum rampung terutama kesulitan penerapan pada bank-bank dimana Pemerintah merupakan pemegang saham pengendalinya. Sebelum membahas lebih jauh, Penulis mencoba mengurai inti dari kebijakan ini.


A.            Kepemilikan tunggal (Single Presence Policy) dan Pemegang Saham Pengendali

Kepemilikan tunggal adalah suatu kondisi dimana suatu pihak hanya dapat menjadi pemegang saham pengendali pada 1 bank.

Sedangkan, konsep Pemegang Saham Pengendali (“PSP”) disini diartikan sebagai badan hukum dan atau perorangan dan atau kelompok usaha yang:

a.         Memiliki saham Bank sebesar 25% atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara; atau

b.        Memiliki saham bank kurang dari 25% dari jumlah saham yang dikeluarkan Bank dan mempunyai hak suara namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian Bank baik secara langsung maupun tidak langsung.

Presentase konsep pengendalian disini lebih kecil dari yang diatur menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Pasar Modal.


B.            Tujuan dari kebijakan ini:

·               Mewujudkan struktur perbankan yang sehat dan kuat;

·               Penataan kembali struktur kepemilikan perbankan; dan

·               Mendukung efektivitas pengawasan Bank.


PBI ini tegas mengatakan bahwa setiap pihak hanya dapat menjadi PSP pada 1 Bank, kecuali:

·               PSP pada 2 Bank yang melakukan kegiatan usaha dengan prinsip berbeda yaitu secara konvensional dan berdasarkan prinsip Syariah;

·               PSP pada 2 Bank yang salah satunya Bank Campuran; dan

·               Bank Holding Company (“BHC”).

Patut dicatat bahwa PBI ini tidak menyebutkan adanya pengecualian terhadap bank milik Pemerintah.


Akibat Hukum

PBI ini tidak hanya meletakkan kewajiban kepada PSP saja tetapi juga kepada bank-bank yang dikendalikan oleh PSP tersebut.

1.             Bagi PSP:

Pihak-pihak yang telah menjadi PSP pada lebih dari 1 Bank (termasuk Pemerintah yang menjadi pengendali pada bank BUMN) wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikan sebagai berikut:

                   a.     Mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikannya sahamnya pada salah satu atau lebih Bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga yang bersangkutan hanya menjadi PSP pada 1 Bank; atau

                    b.    Melakukan merger atau konsolidasi atas Bank-Bank yang dikendalikannya; atau

                  c.    Membentuk BHC dengan cara mendirikan badan hukum baru sebagai BHC; atau menunjuk salah satu bank yang dikendalikannya sebagai BHC.

2.             Bagi Bank yang dikendalikan:

Kewajiban menyusun rencana penyesuaian struktur kepemilikan dan menyampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat akhir Desember 2007.

Rencana tersebut sekurang-kurangnya wajib memuat cara penyesuaian struktur yang dipilih dan rencana tindak dan jadwal waktu pelaksanaanya.

Rencana tersebut dapat disusun dan disampaikan oleh masing-masing Bank atau bersama-sama oleh beberapa Bank dengan PSP yang sama dan wajib ditandatangani oleh PSP yang bersangkutan serta diketahui oleh Direksi dan Dewan Komisaris masing-masing pihak.

Terhitung sejak 1 Januari 2008, bank-bank tersebut wajib menyampaikan perkembangan pelaksanaan penyesuaian struktur kepemilikannya kepada BI setiap triwulan.

Untuk menilai mengenai keseriusan Bank Indonesia dan PSP serta bank yang dikendalikan terhadap penerapan Single Presence Policy ini adalah dengan cara melihat apakah kewajiban-kewajiban tersebut di atas sudah dilaksanakan atau belum.


Tenggang Waktu

Penyesuaian struktur kepemilikan wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lambat akhir Desember 2010. Akan tetapi tampak ketidaktegasan pembuat PBI ini yang memberikan celah bahwa berdasarkan permintaan PSP dan bank-bank yang dikendalikannya, Bank Indonesia dapat memberikan perpanjangan waktu penyesuaian struktur kepemilikan tersebut apabila menurut penilaian Bank Indonesia terdapat kompleksitas permasalahan yang tinggi yang dihadapi PSP dan bank-bank yang dikendalikannya yang menyebabkan penyesuaian struktur kepemilikan tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu tersebut. Ketentuan ini tentu menjadi celah dan potensi adanya perlakuan berbeda (unequal treatment) terhadap PSP pada bank-bank tertentu. Sulit menilai ukuran tingkat kompleksitas yang dimaksud BI agar dapat diberikan perpanjangan waktu dan entah sampai berapa lama diskresi tersebut dapat diberikan oleh BI.


Sanksi

1.             Bagi PSP:

PSP yang tidak melakukan penyesuaian struktur kepemilikan dalam jangka waktu paling lambat akhir Desember 2010 dikenakan sanksi berupa pelarangan melakukan pengendalian dan dilarang memiliki saham dengan hak suara pada masing-masing Bank lebih dari 10% dari jumlah saham Bank.

PSP wajib mengalihkan saham tanpa hak suara kepada pihak lain paling lambat 1 tahun setelah berakhirnya jangka waktu penyesuaian struktur kepemilikan.

Bila ketentuan tersebut tidak dilakukan maka PSP akan dikenakan sanksi administratif berupa larangan menjadi PSP pada seluruh bank di Indonesia untuk jangka waktu 20 tahun. Pengenaan sanksi ini tidak menghilangkan kewajiban PSP untuk tetap mengalihkan saham tanpa hak suara tersebut.

2.             Bank-bank yang dikendalikan terkait dengan PSP yang tidak melakukan penyesuaian struktur kepemilikan dalam jangka waktu paling lambat akhir Desember 2010 wajib:

a.     mencatat kepemilikan saham dengan hak suara bagi yang bersangkutan paling tinggi sebesar 10% dari jumlah saham bank.

b.    Memberikan hak suara bagi yang bersangkutan dalam RUPS paling tinggi sebesar 10% dari jumlah saham Bank.

c.     Menatausahakan jumlah kelebihan saham di atas 10% milik PSP sebagai saham tanpa hak suara sampai saham tersebut dialihkan kepada pihak lain.

Bila kewajiban butir (a), (b) dan (c) diatas tidak dilakukan maka bank-bank yang dikendalikan tersebut akan dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar denda sebesar  Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

d.    Saham tanpa hak suara tidak boleh diperhitungkan dalam menentukan jumlah kuorum RUPS yang harus dicapai.


Kritik Penulis

1.             Prinsip dari kebijakan ini sebenarnya cukup baik tetapi seharusnya dari awal Bank-Bank milik Pemerintah Republik Indonesia dikecualikan dari penerapan ketentuan kebijakan ini menimbang sejarah, tingkat kompleksitas dan tujuan dari penerapan policy ini.

2.            Ketiga opsi yang ditawarkan oleh BI dalam kebijakan ini seharusnya dapat dikaji lebih mendalam. Misalnya kebijakan pembentukan Bank Holding Company dimana ketentuan tersebut tidak diakomodasi dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Konsep Perusahaan Induk (Holding Company) tidak diatur dalam hukum Indonesia.

Mengenai opsi pengalihan sebagian atau seluruh kepemilikan saham yang berlaku surut memberikan preseden buruk terhadap iklim usaha di Indonesia dan kepastian hukum terhadap perlindungan hak milik di negara kita ini. Sebagai tambahan informasi Pemerintah telah bekerja keras menarik investor asing salah satunya dengan menghapuskan ketentuan mengenai kewajiban divestasi saham asing yang dahulu sempat diberlakukan untuk perusahaan penanaman modal asing. Kewajiban divestasi sekarang ini sudah tidak diakomodir oleh Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing kecuali untuk bidang pertambangan dan sektor tertentu dan BKPM juga sudah mulai menjalankan kebijakan tersebut.

Opsi merger atau konsolidasi itu juga potensi bersinggungan dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menyebabkan biaya yang besar kepada bank tersebut serta potensi permasalahan tenaga kerja yang berujung pengurangan karyawan akibat merger atau konsolidasi.

Terkait dengan kewenangan BI sebagai pengatur dan pengawas bank-bank di Indonesia sebagaimana amanat dari Undang-Undang No. 23 tahun 2009 yang telah diubah oleh Undang-Undang No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia, sudah seharusnya BI mengkaji potensi-potensi masalah ini secara mendalam sebelum mengeluarkan kebijakan mengenai Single Presence Policy tersebut terutama terkait dengan penerapan pada bank-bank Pemerintah sehingga kebijakan ini tepat sasaran dan tidak menyebabkan BI mendapat potensi tuntutan dari bank-bank yang telah patuh melaksanakan kebijakan tersebut akibat unequal treatment. Bila melihat dari tujuan mempermudah pengawasan atau penguatan struktur perbankan sepertinya penetapan modal minimum dan keharusan menjaga tingkat kesehatan bank lebih tepat sasaran untuk diterapkan daripada penerapan kebijakan Single Presence Policy ini sehingga pada akhirnya seleksi alam akan menentukan dimana hanya bank yang memiliki struktur permodalan kuat dan sehat yang akan bertahan.

3.             Bila sampai tenggang waktu yang diberikan ternyata Bank-Bank milik Pemerintah tidak melaksanakan kewajiban tersebut apakah BI akan tetap memberikan sanksi sebagaimana ditetapkan dalam peraturan diatas. Lalu siapakah yang akan menerima keuntungan dari pengalihan saham untuk Bank-Bank BUMN yang tidak melaksanakan kebijakan BI tersebut.

4.             Rencana revisi Single Presence Policy ini harus menjadi catatan konsistensi bagi BI supaya di kemudian hari dapat mengkaji lebih dalam lagi terhadap suatu kebijakan sebelum dituangkan dalam bentuk peraturan. Walaupun revisi bukan solusi yang terbaik tetapi menurut Penulis masih lebih baik daripada dilakukan judicial review oleh stakeholders yang merasa dirugikan akan peraturan tersebut.







1 komentar:

Gokma Sinaga mengatakan...

menambah khasanah berpikir di bidang hukum Perbankan