Undang-Undang
No. 44 tahun 2009 mengenai Rumah Sakit (“UU
RS”) secara jelas menyebutkan bahwa tujuan Rumah Sakit adalah perlindungan
dan keselamatan pasien. Lebih lanjut disebutkan bahwa tugas Rumah Sakit adalah
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. Rumah Sakit juga berkewajiban memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi,
dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar
pelayanan Rumah Sakit. Sedangkan, salah satu hak pasien menurut UU RS adalah memperoleh
layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik
dan materi.
Terkait dengan kasus pemberian izin penggunaan Rumah Sakit sebagai
lokasi shooting, walaupun tidak ada larangan tegas dalam UURS mengenai hal
tersebut tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan tujuan, tugas, fungsi dan kewajiban Rumah Sakit
sebagaimana diamanatkan dalam UURS sehingga layaknya hal ini dapat menjadi
pertimbangan di kemudian hari untuk Kepala/Direktur Rumah Sakit dalam
memberikan izin Rumah Sakit sebagai lokasi shooting apalagi shooting komersial.
UURS juga menyebutkan secara tegas bahwa Rumah Sakit
bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit. Mengenai sanksi pidana,
sayangnya UU RS hanya mengatur sanksi pidana terkait penyelenggaraan Rumah Sakit tanpa izin dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00- (lima milyar rupiah).
Perlunya Dewan
Pengawas Rumah Sakit
Walapun hal ini bukan merupakan kewajiban tetapi dari redaksi
UURS, pemilik Rumah Sakit dapat membentuk Dewan Pengawas Rumah Sakit yang merupakan
suatu unit nonstruktural yang bersifat independen dan bertanggung jawab kepada
pemilik Rumah Sakit. Keanggotaan Dewan Pengawas Rumah Sakit terdiri dari unsur
pemilik Rumah Sakit, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan tokoh
masyarakat. Salah satu tugas Dewan Pengawas Rumah Sakit :
a. menentukan arah kebijakan Rumah Sakit;
b. menyetujui dan mengawasi pelaksanaan rencana strategis;
c. menilai dan menyetujui pelaksanaan rencana anggaran;
d. mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien;
f. mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban Rumah Sakit; dan
g. mengawasi kepatuhan penerapan etika Rumah Sakit, etika
profesi, dan peraturan perundangundangan.
Ke depan jika fungsi Dewan
Pengawas Rumah Sakit ini di implementasikan mungkin kejadian-kejadian seperti
yang terjadi di RS Harapan Kita tidak akan terulang.
Penggunaan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen untuk menggugat RS kurang tepat
Hukum
kita menganut asas lex specialis derogat
lex generalis yang secara mudah diartikan sebagai ketentuan hukum yang
khusus mengalahkan ketentuan hukum yang umum sehingga tentunya lebih tepat jika
yang digunakan sebagai basis menggugat RS adalah UURS bukan UU Perlindungan
Konsumen seperti yang banyak diperbincangkan.
Reaksi Menteri Kesehatan dan DPR
memanggil Kepala Rumah Sakit atau Direktur RS Harapan Kita
Selain Dewan Pengawas Rumah Sakit yang dapat dibentuk secara
internal oleh Rumah Sakit, UURS mengatur bahwa pembinaan dan pengawasan Rumah
Sakit dilakukan oleh Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia yang ditetapkan oleh
Menteri dan bertanggung jawab kepada Menteri.
Badan Pengawas Rumah Sakit tersebut merupakan unit nonstruktural yang
bertanggung jawab dibidang kesehatan dan dalam menjalankan tugasnya bersifat
independen. Keanggotaan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia terdiri dari unsur
pemerintah, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan dan tokoh masyarakat. Biaya
untuk pelaksanaan tugas-tugas Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia
dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara.
Reaksi
Menteri Kesehatan dan DPR menurut saya cukup baik akan tetapi jika lembaga
Badan Pengawas Rumah Sakit sebagaimana diisyaratkan oleh UURS berjalan dengan
semestinya maka akan lebih bijak jika Menteri Kesehatan atau DPR memanggil Badan
Pengawas Rumah Sakit terkait kasus yang terjadi di Rumah Sakit tersebut terlebih
dahulu sebelum memanggil Direktur atau Kepala RS Harapan Kita. Terlepas dari
pelanggaran yang terjadi dalam kasus ini menurut hemat saya pencabutan sanksi
tetap bukan langkah bijak dalam situasi sekarang ini mengingat banyak tenaga
kerja menggantungkan hidupnya juga di RS tersebut. Teguran keras layak untuk
diberikan bila memang terjadi pelanggaran dalam kasus tersebut.
Semoga
kasus seperti ini tidak terulang di kemudian hari dan Rumah Sakit dapat lebih berhati-hati
akan tanggung jawab dan resiko hukum yang menjadi kewajibannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar