Selasa, 01 Januari 2013

Pelajaran dari Kasus Rumah Sakit Harapan Kita


Jumat, 28 Desember 2012, saya diminta pendapat dalam sesi wawancara dengan sebuah tv mengenai Kasus Rumah Sakit Harapan Kita yang digunakan untuk shooting dan secara kebetulan terjadi musibah kematian seorang anak yang menderita leukimia. Entah apakah kematian anak tersebut merupakan efek keterlambatan dokter atau tenaga kesehatan Rumah Sakit tersebut menangani anak tersebut akibat terganggu adanya shooting atau hal tersebut hanya kebetulan saja terjadi.

Saya tertarik menuangkan hal ini dalam tulisan karena beberapa hasil wawancara saya tidak disiarkan yang menurut saya mungkin penting untuk diketahui masyarakat umum.

Tujuan, Tugas, Fungsi dan Kewajiban Rumah Sakit
Undang-Undang No. 44 tahun 2009 mengenai Rumah Sakit (“UU RS”) secara jelas menyebutkan bahwa tujuan Rumah Sakit adalah perlindungan dan keselamatan pasien. Lebih lanjut disebutkan bahwa tugas Rumah Sakit adalah memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien. Rumah Sakit juga berkewajiban memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit. Sedangkan, salah satu hak pasien menurut UU RS adalah memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi.

Terkait dengan kasus pemberian izin penggunaan Rumah Sakit sebagai lokasi shooting, walaupun tidak ada larangan tegas dalam UURS mengenai hal tersebut tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan tujuan, tugas, fungsi dan kewajiban Rumah Sakit sebagaimana diamanatkan dalam UURS sehingga layaknya hal ini dapat menjadi pertimbangan di kemudian hari untuk Kepala/Direktur Rumah Sakit dalam memberikan izin Rumah Sakit sebagai lokasi shooting apalagi shooting komersial. UURS juga menyebutkan secara tegas bahwa Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit. Mengenai sanksi pidana, sayangnya UU RS hanya mengatur sanksi pidana terkait penyelenggaraan Rumah Sakit tanpa izin dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00- (lima milyar rupiah).

Perlunya Dewan Pengawas Rumah Sakit

Walapun hal ini bukan merupakan kewajiban tetapi dari redaksi UURS, pemilik Rumah Sakit dapat membentuk Dewan Pengawas Rumah Sakit yang merupakan suatu unit nonstruktural yang bersifat independen dan bertanggung jawab kepada pemilik Rumah Sakit. Keanggotaan Dewan Pengawas Rumah Sakit terdiri dari unsur pemilik Rumah Sakit, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan tokoh masyarakat. Salah satu tugas Dewan Pengawas Rumah Sakit :

a.         menentukan arah kebijakan Rumah Sakit;
b.         menyetujui dan mengawasi pelaksanaan rencana strategis;
c.         menilai dan menyetujui pelaksanaan rencana anggaran;
d.         mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien;
f.          mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban Rumah Sakit; dan
g.         mengawasi kepatuhan penerapan etika Rumah Sakit, etika profesi, dan peraturan perundangundangan.

Ke depan jika fungsi Dewan Pengawas Rumah Sakit ini di implementasikan mungkin kejadian-kejadian seperti yang terjadi di RS Harapan Kita tidak akan terulang.


Penggunaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk menggugat RS kurang tepat

Hukum kita menganut asas lex specialis derogat lex generalis yang secara mudah diartikan sebagai ketentuan hukum yang khusus mengalahkan ketentuan hukum yang umum sehingga tentunya lebih tepat jika yang digunakan sebagai basis menggugat RS adalah UURS bukan UU Perlindungan Konsumen seperti yang banyak diperbincangkan.


Reaksi Menteri Kesehatan dan DPR memanggil Kepala Rumah Sakit atau Direktur RS Harapan Kita
Selain Dewan Pengawas Rumah Sakit yang dapat dibentuk secara internal oleh Rumah Sakit, UURS mengatur bahwa pembinaan dan pengawasan Rumah Sakit dilakukan oleh Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri dan bertanggung jawab kepada Menteri.
Badan Pengawas Rumah Sakit tersebut merupakan unit nonstruktural yang bertanggung jawab dibidang kesehatan dan dalam menjalankan tugasnya bersifat independen. Keanggotaan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia terdiri dari unsur pemerintah, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan dan tokoh masyarakat. Biaya untuk pelaksanaan tugas-tugas Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara.

Reaksi Menteri Kesehatan dan DPR menurut saya cukup baik akan tetapi jika lembaga Badan Pengawas Rumah Sakit sebagaimana diisyaratkan oleh UURS berjalan dengan semestinya maka akan lebih bijak jika Menteri Kesehatan atau DPR memanggil Badan Pengawas Rumah Sakit terkait kasus yang terjadi di Rumah Sakit tersebut terlebih dahulu sebelum memanggil Direktur atau Kepala RS Harapan Kita. Terlepas dari pelanggaran yang terjadi dalam kasus ini menurut hemat saya pencabutan sanksi tetap bukan langkah bijak dalam situasi sekarang ini mengingat banyak tenaga kerja menggantungkan hidupnya juga di RS tersebut. Teguran keras layak untuk diberikan bila memang terjadi pelanggaran dalam kasus tersebut.

Semoga kasus seperti ini tidak terulang di kemudian hari dan Rumah Sakit dapat lebih berhati-hati akan tanggung jawab dan resiko hukum yang menjadi kewajibannya.

Tidak ada komentar: