Oleh: Chandra Kurniawan
6 Juli 2014
#Tulisan ini bukan merupakan
kampanye atau ajakan untuk memilih!
Saya rasa saya perlu menuliskan betapa hebohnya teman-teman teman-teman
saya bersuara pada pemilihan presiden kali ini. Saya bukan orang yang menyukai
politik. Saya kuliah di fakultas hukum dan kebetulan sekarang menjalani profesi
sebagai konsultan hukum. Sejak awal
muncul kandidat calon presiden, saya hanya mengamati. Saya tidak suka
berpolitik salah satunya karena saya mengalami sendiri ketika saya terpilih
menjadi ketua angkatan di kampus saya. Sejak TK sampai SMA saya dibesarkan di
sekolah katolik tetapi bukan berarti teman-teman baik saya beragama katolik
semua. Mungkin lebih dari 50% teman baik saya adalah muslim. Saya cukup kaget
ketika saya maju sebagai kandidat ketua angkatan Fakultas Hukum Universitas Negeri
yang cukup ternama. Ada beberapa seruan untuk tidak memilih saya karena saya
non muslim dan tidak boleh menjadi pemimpin. Saya sangat kaget karena hal
tersebut tidak pernah saya alami sejak saya sekolah dan entah mengapa hal
tersebut terjadi di tempat yang saya anggap berisi kaum intelektual. Sejak saat
itu mata saya terbuka tetapi yang membuat saya terharu adalah teman-teman saya
tidak termakan oleh isu tersebut walaupun beberapa menentang pencalonan saya
tetapi akhirnya saya tetap terpilih sebagai ketua angkatan, sebuah jabatan
simbolik.
Kembali kepada topik mengenai pemilihan presiden. Jujur, ini pertama kali
saya akan menggunakan hak pilih saya karena pada pemilihan presiden sebelumnya
saya menjadi golput. Sejak muncul dua kandidat presiden dan wakil presiden.
Saya tidak kesulitan memilih. Sejak hari pertama saya tetapkan pilihan saya kepada
pasangan no. 2 karena saya sangat terkesan dengan sosok Joko Widodo atau yang
akrab disebut Jokowi. Bahkan ketika banyak orang meragukan bahwa Jokowi effect
hanya pencitraan yang dibuktikan bahwa pada saat pemilihan Gubernur Jakarta
hanya menang tipis dari Fauzi Bowo, saya tetap yakin Jokowi memiliki pengaruh
yang luar biasa. Saya merasakan perubahan dan hasil kerja beliau di Jakarta. Saya
bahkan rela hadir ke Gelora Bung Karno pada waktu weekend hari terakhir
kampanye untuk memenuhi rasa penasaran saya untuk melakukan observasi langsung terhadap
antusiasme ribuan pendukung tanpa atribut partai dan turun tangan di bulan
puasa hadir karena keyakinan suara hati mereka. Satu kata, Merinding!
Baiklah izinkan saya membahas mengenai blusukan saya terhadap perilaku para
pendukung. Sungguh takjub saya akan antusias para pendukung calon presiden
tahun ini. Facebook, path, twitter, youtube, instagram, koran, tv ramai dengan
materi dan pembahasan mengenai kandidat presiden. Saya tentu tidak ketinggalan.
Saya orang yang sangat bawel urusan berpendapat tapi untuk pemilihan calon
presiden saya memilih menuliskan dalam tulisan daripada mengundang debat
terbuka melalui media sosial. Awalnya saya sempat posting mengenai kekhawatiran
saya bila pasangan yang didukung koalisi partai gemuk dan didukung organisasi kemasyarakatan garis
keras itu menang. Saya kurang setuju dengan transaksi dalam politik walapun
untuk sebagian orang itu merupakan hal lumrah dan munafik bila harus
menepikannya. Setidaknya tunggu sampai kue tersebut di dapatkan. Saya segera hentikan
postingan komentar lebih jauh terhadap hal tersebut karena saya sadar saya
mungkin dapat menyinggung perasaan teman-taman saya yang berseberangan dengan
saya. Saya tidak pernah takut berbeda pendapat karena profesi saya sebagai
seorang lawyer menganggap perbedaan dan perdebatan adalah seni dan nutrisi kaum
intelektual. Saya hanya terlalu takut menyinggung perasaan teman-teman saya
yang mungkin kebetulan tidak sependapat dengan saya.
Saya lalu memutuskan menjadi pengamat media sosial teman-teman saya.
Awalnya saya selalu geleng-geleng kepala dan mengurut dada setiap ada berita
yang di post oleh teman saya baik menyerang dengan fitnah (black campaign)
maupun negative campaign terlebih bila dilakukan oleh pihak yang memiliki
kepentingan tertentu. Bahkan jualan-jualan jaman dahulu masih laku di beberapa
kalangan seperti ayat-ayat suci berbau SARA, fisik, postingan data-data tidak
valid, postingan berita yang menyudutkan, serangan personal, dll. Tetapi
sekarang saya menikmati hingar bingar ini, mengalahkan kenikmatan saya
menikmati event World Cup. Saya membuat kajian sendiri terhadap teman-teman
saya yang rajin memposting baik berita positif maupun berita miring dari sumber
yang kurang reliable sekalipun bahkan ada yang setiap hari melakukan hal
tersebut. Sempat ngeri-ngeri sedap karena itu terjadi pada teman saya yang
tergolong intelek. Para pendukung kedua calon saling berargumen, menyerang,
menjatuhkan, nyinyir, bahkan sampai memutuskan unfriend di media social untuk
menghindari debat kusir. Beberapa menyayangkan dan menilai itu sebagai sikap ketidakdewasaan
dalam berpolitik. Saya dalam posisi netral terhadap hal tersebut karena saya
jarang ingin terlibat dalam sebuah perdebatan dan saya berpendapat bahwa itu
warna demokrasi dan kembali kepada pribadi masing-masing untuk menyikapi.
Sekali lagi bukan karena saya takut tetapi karena saya tidak ingin menyinggung
perasaan teman saya yang mungkin berbeda pendapat dan saya tidak ingin terbawa
oleh arus elit politik yang saya lihat bisa saling menghujat di suatu ketika
dan saling bergandengan di lain waktu. Mual saya melihatnya tetapi itu realita
yang terjadi. Tidak perlu saya sebutkan contohnya tetapi kliping-kliping koran
atau berita persinggungan di masa lalu itu tidak usang di makan waktu. Saya
bahkan memutuskan tidak terlibat dalam perdebatan apapun mengenai calon
presiden tetapi saya memperhatikan dengan seksama.
Saya memperhatikan timeline, ucapan, postingan berita teman-teman saya dan
menjadi semakin ramai ketika debat calon presiden ditayangkan. Beberapa kritis,
beberapa positive, beberapa nyinyir, beberapa apatis, beberapa memposting
berita yang kurang layak, beberapa curhat mengenai ketersinggungan karena merasa
ditindas oleh pendukung lain, beberapa membuat kajian analisa dari kacamata
mereka, beberapa tidak menerima kritik, beberapa menerima tetapi lalu membuat
serangan balasan, beberapa menghujat ketidaknyamanan suasana ini, dan masih
banyak lagi. Saya tidak dalam posisi menjudge benar atau salah cara teman-teman
melampiaskan antusiasme terhadap pemilihan calon presiden dan saya katakan saya
menikmati pesta demokrasi ini. Tetapi ingat temanku, semua itu terekam dan teman-teman
di luar sana menilai tingkah kalian. Jadikanlah itu sebagai pelajaran berharga
walaupun saya yakin kalian memiliki justifikasi masing-masing tetapi
berpikirlah sebelum bertindak dan bila kalian merasa sudah berpikir maka
siaplah menanggung resiko tindakan kalian. Saya percaya bahwa cara simpatik,
kedalaman, kapasitas, kematangan berpendapat serta konsistensi sebuah pemikiran
akan menunjukkan kelas seseorang.
Terlepas dari hal di atas saya sangat mengagumi keindahan perbedaan dan
semoga bangsa kita terus maju. Tetap bersuara teman. Sikap kalian terhadap
calon presiden kalian tidak akan mengubah pertemanan kita.
Mari berdoa untuk Indonesia yang lebih baik dan kedewasaan para pendukung
untuk menyikapi hasil Pilpres 9 Juli!
1 komentar:
kereennnn, engkih makin mantaapp ajeeee, hehehee
Posting Komentar